der@zino Blog: 2011-04-24

Pages

Wednesday, April 27, 2011

Tengah Malam di Nanjing Road

 
WAKTU setempat telah beranjak ke pukul sepuluh malam saat kereta api bawah tanah berhenti di Stasiun Lujiazui, Shanghai, China. Sebagian penumpang berhamburan keluar, sementara yang masuk segelintir saja.
Hanya butuh waktu kurang dari 10 menit untuk keluar dari lorong stasiun dan tiba di Nanjing Road, shopping street paling ramai di China. Nanjing Road lebih kurang mirip Malioboro di Yogyakarta. Namun, kawasan tersebut terasa lebih nyaman untuk berjalan-jalan karena memang didesain khusus bagi pejalan kaki dan kondisinya sangat bersih.
Hawa dingin langsung menusuk tulang begitu berada di ruang terbuka Nanjing Road. Maklum, di Shanghai, akhir Februari, masih peralihan dari musim dingin ke musim panas. Jadi, suhu udara pada malam hari 5-10 derajat celsius.
Tulisan nama-nama toko dalam aksara China di papan neon menyala terang penuh warna-warni. Sementara lampu-lampu taman memberikan rona temaram. Bangku permanen yang terbuat dari semen bertebaran menawarkan kelegaan bagi pengunjung yang lelah berjalan atau sekadar ingin duduk-duduk santai menikmati suasana.
Di sepanjang kanan-kiri jalan, berderet toko, supermarket, dan beberapa mal. Sebagian besar bangunan berarsitektur Eropa dan modern. Beragam merek busana terkemuka dan jaringan bisnis waralaba tersedia. Berbagai produk khas buatan China pun tersebar di toko-toko, mulai dari sutra, permata, sampai batu giok.
Baru berjalan kaki 10 menit, seorang pria datang menghampiri. Rupanya ia adalah makelar layanan jasa seks komersial. Dari fisik dan gaya bahasa, tampaknya ia beretnis Melayu. ”Selamat malam. Anda dari mana, Malaysia, Singapura?” sapanya dalam bahasa Melayu, mengawali promosi yang kemudian langsung mengarah pada materi pokok.
Rasanya, setiap berjalan 50 meter, selalu saja ada makelar yang menghampiri. Tampaknya wisatawan mancanegara jadi salah satu target utamanya. Namun, tak semua layanan jasa seks komersial melalui makelar. Ada juga pekerja seks komersial yang berada di keramaian dan langsung menghampiri sasaran dan menawarkan diri.
Di antaranya adalah dua perempuan cantik yang mengenalkan diri sebagai Shusien dan Vinda. Umur mereka sekitar 25 tahun. ”Dari negara mana, mau ke mana? Mau kami temani?” tanya Shusien dalam bahasa Inggris.
Di luar urusan komersial tersebut dan ramainya pengunjung, baik domestik maupun mancanegara, Nanjing Road menyisakan tempat bagi sejumlah tunawisma. Beberapa di antaranya tampak duduk-duduk di bangku semen sambil menenteng tas kumal besar. Mereka rata-rata sudah berusia lanjut.
Di depan lobi Royal Meridien Hotel, seorang tukang semir merangkap tunawisma sibuk mengelap sepatu lusuhnya dengan air kolam taman. Lalu-lalang orang di sekitarnya tak dihiraukan pria berumur 45 tahun itu, termasuk ketika dua polisi melintas.
Park Lane
Cikal bakal Nanjing Road adalah Park Lane, sebuah pusat kegiatan komersial pada masa pendudukan Inggris, 1845. Setelah mengalami penambahan panjang badan jalan sebanyak dua kali, nama Park Lane resmi diubah menjadi Nanking Road oleh otoritas kota Shanghai pada 1862.
Pada 1943, otoritas setempat mengganti nama Nanking Road menjadi East Nanjing Road. Pada saat yang sama, nama Bubbling Well Road juga diganti menjadi West Nanjing Road. Kedua ruas jalan sepanjang total 5 kilometer itu disebut Nanjing Road. Namun, dalam perkembangannya, penyebutan Nanjing Road lebih merujuk pada East Nanjing Road.
Pada 2000, sebagai bagian dari cetak biru pembangunan kota Shanghai, East Nanjing Road direnovasi menjadi kawasan khusus pejalan kaki. Lebarnya 28 meter dan panjangnya 1.200 meter. Kini tak kurang dari 600 gerai beroperasi di jalan itu.
Bicara Nanjing Road tak bisa lepas dari sejarah kota Shanghai yang lahir 700 tahun silam. Berada di mulut Sungai Yangtze, Shanghai menjadi lokasi ideal untuk perdagangan dan Nanjing Road tak pernah keluar dari pusaran dinamikanya.
Pada masa Dinasti Yuan (1271-1368), Shanghai dikembangkan menjadi daerah bisnis perkapalan. Pada Dinasti Ming (1386-1644), Shanghai tumbuh menjadi pusat tekstil nasional dan pelabuhan perdagangan terbesar di China.
Pasca-Perang Opium pada 1843, Shanghai menjadi daerah konsesi yang digilir sejumlah negara penjajah selama 100 tahun. Dimulai dari Inggris (1845), Amerika Serikat (1848), Perancis (1849), International Settlement antara AS dan Inggris, sampai Jepang. Pada periode ini, Shanghai tumbuh menjadi pelabuhan perdagangan yang besar.
Reformasi ekonomi yang dicanangkan Deng Xiaoping pada 1990 memberikan tuah kepada Shanghai. Investasi asing, pasar global, dan kompetisi pada sektor privat secara terbatas tumbuh subur di kota seluas 6.340 kilometer persegi tersebut.
Kini, Shanghai dengan penduduk sekitar 19 juta jiwa menjadi pusat kegiatan perekonomian China sekaligus kota pelabuhan perdagangan paling vital di negara tersebut. Pada 2020, Shanghai bermimpi menjadi pusat kegiatan ekonomi, finansial, perdagangan, dan perkapalan dunia.
Sementara itu, tengah malam sudah lewat di Nanjing Road. Sebagian besar toko telah tutup. Lalu-lalang orang juga sudah surut. Namun, Nanjing Road masih hidup, bukan untuk malam itu saja, tapi selama Shanghai, anak sulung ekonomi pasar sosialis itu, berdenyut.... 
 
Sumber :Kompas Cetak

read_more

FOLLOWERS