Berdasarkan pemantauan, Senin (22/2/2010), sejumlah dokter di beberapa puskesmas dan rumah sakit pemerintah masih tetap meresepkan obat bermerek untuk pasien. Kewajiban untuk meresepkan obat generik sesuai kondisi medis pasien belum sepenuhnya dipatuhi.
Akibatnya, pasien dirugikan karena harus membayar obat dengan harga jauh lebih mahal.
”Pemerintah harus berperan besar dan tegas dalam mengatur harga obat sehingga masyarakat tidak dirugikan,” kata Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia sekaligus anggota Tim Rasionalisasi Harga Obat Generik Nasional di Kementerian Kesehatan Marius Widjajarta.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, pada tahun 2005 pasar obat nasional yang mencapai Rp 21,07 triliun, pasar obat generik sangat minim hanya Rp 2,52 triliun. Adapun pada tahun 2009 pasar obat naik mencapai Rp 30,56 triliun. Meski demikian, pasar obat generik justru turun menjadi hanya Rp 2,37 triliun.
Farmakolog dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Prof Iwan Dwiprahasto, mengatakan, obat generik sulit menjadi populer karena tidak didukung struktur yang memadai. ”Regulasi yang ada belum benar-benar kuat mengontrol dan mengawasi semua dokter untuk meresepkan obat generik,” kata Iwan.
Dianggap tidak ampuh
Sementara di masyarakat, obat generik masih dipandang sebagai obat untuk orang miskin, obat puskesmas, obat curah, dan dianggap tidak ampuh. ”Selain itu, obat generik juga tidak pernah diiklankan dan dokter lebih banyak mengetahui tentang obat bermerek karena kerap didatangi petugas penjual obat. Jaminan ketersediaan obat generik juga masih jadi masalah,” ujarnya.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Anthony Ch Sunarjo mengatakan, perusahaan farmasi tentu mendukung program obat generik yang dicanangkan pemerintah. Hanya saja, murahnya harga eceran tertinggi yang ditentukan pemerintah dan masih kecilnya pasar membuat obat generik tidak terlalu menarik.
”Perhitungan harga itu tidak sederhana dan begitu banyak faktornya,” ujarnya. Tidak hanya kalkulasi biaya produksi, promosi, dan distribusi, melainkan faktor psikologis harga. ”Sebagian masyarakat meyakini harga tidak menipu. Begitu harga obat bermerek terlalu murah malah dikira tidak ampuh atau tidak berkualitas,” ujarnya.
Sekretaris Korporat PT Kalbe Farma Tbk Vidjongtius menjelaskan, pasar obat generik selama ini lebih banyak didorong pemerintah. ”Kelihatannya belum otomatis bergerak dalam saluran distribusi obat generik baik rumah sakit, apotek, dan dokter. Kalau hanya pemerintah yang mendorong, itu sulit dilakukan,” katanya.
Sebagai pelaku usaha, pihaknya selalu melihat peluang pasar. Dari total volume penjualan obat, porsi untuk obat generik hanya 9-10 persen karena selama ini umumnya hanya bisa dipasarkan di sektor pemerintah, misalnya di rumah sakit umum daerah. Adapun penyedia layanan swasta bebas memilih antara peresepan obat generik ataupun jenis obat lain.
Rasionalisasi harga
Saat ini, setidaknya ada 8-12 produsen obat generik dan tiga di antaranya badan usaha milik negara (BUMN). Di sisi lain, setidaknya ada 204 perusahaan farmasi yang terdiri dari 31 perusahaan asing, empat BUMN, dan sisanya perusahaan penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau swasta nasional di Indonesia.
Untuk mendorong minat produsen, pada 27 Januari 2010 pemerintah melakukan rasionalisasi harga obat. Dari 453 jenis obat generik, sebanyak 106 jenis obat harganya turun, 33 jenis obat harganya naik, dan 314 jenis obat harganya tetap.
Wakil Menteri Perindustrian Alex SW Retraubun di Serang mengatakan bahwa industri farmasi perlu mengoptimalkan produksi obat generik. ”Namun, ujung tombak pemanfaatan obat itu tetap di tangan dokter,” ujarnya.
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Prijo Sidipratomo mengatakan sulit hanya mengandalkan niat baik dokter untuk meresepkan obat generik. Diperlukan sebuah sistem yang dapat mengontrol dan menggiring peresepan obat ke arah generik. (INE/EVY/OSA/THY)
0 comments:
Post a Comment
Biasakan untuk menuliskan komentar setelah Anda membaca artikel.