Seorang perempuan suku Karen menenun kain untuk dijual kepada wisatawan yang berkunjung ke permukiman mereka di wilayah Chiang Mai, Thailand.
Mani (29) tengah menenun kain ketika sejumlah turis mendekat. Salah seorang menyapanya dan meminta Mani berfoto bersama. Ia pun tersenyum seraya beranjak dari duduknya. Sesi foto yang berlangsung hampir 10 menit itu berakhir dengan kepuasan di wajah para pengunjung.
Tak lama, sejumlah wisatawan lain datang lagi. Mereka rupanya memiliki ketertarikan serupa pada kalung logam keemasan di leher Mani yang panjang itu sehingga ingin mengajaknya berfoto. Saya pun ikut nimbrung sambil mengajaknya ngobrol.
Selain saya, para pengunjung itu juga memiliki rasa penasaran. Sejumlah pertanyaan serupa hendak kami kemukakan, seperti: sejak kapan memakai kalung yang berat itu? Atau, apakah tidak merasa sakit karena bertahun-tahun memakainya? Masih dengan senyumnya, Mani menjawab seluruh pertanyaan kami dengan singkat. Tentu saja bukan karena ia sombong. Kemampuan Mani berbahasa Inggris masih patah-patah.
Menurut Mani, ia memakai kalung berwarna keemasan itu, atau disebut toliang, sejak usia lima tahun. Kini sebanyak 24 keping toliang telah menggantung di lehernya. Setiap bertambahnya usia, jumlah kalung ditambah satu. Tidak hanya di leher, tapi Mani juga mengenakan kalung serupa di kedua kakinya yang jenjang. Sedangkan kepalanya dihiasi kain berajut renda warna-warni.
Budaya memakai kalung pada wanita Karen merupakan bagian kepercayaan bahwa mereka keturunan burung mitos, Phoenix. Saking beratnya, kalung-kalung itu mendorong tulang bahu dan rusuk turun sehingga leher mereka pun memanjang. Wanita Karen merasa semakin mirip Phoenix jika memiliki leher yang kian panjang.
Untuk memuaskan rasa penasaran, ujung-ujungnya Mani menawarkan kami berfoto dengan memakai toliang serupa dengannya. Ternyata toliang memang berat sekali. Satu keping kalung berukuran berat setengah kilogram lebih. Sedangkan toliang yang dikenakan pada leher kami ada sekitar 10 hingga 15 keping. Bisa dibayangkan leher kami harus menyangga benda yang beratnya sekitar 8 kilogram. Untung saja, sesi foto segera berakhir dan toliang pun kami kembalikan.
Mani adalah salah seorang warga suku Karen, yaitu suku pegunungan asal Myanmar. Bersama sekitar 30 keluarga lainnya, ia menempati permukiman yang dibangun Pemerintah Thailand pada tahun 2005 di Desa Baan Tong Luang, Chiang Mai. Selain Karen yang merupakan subsuku Kayan, ada penduduk suku Akha, Mong, dan suku Lisu. Di desa ini, mereka bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, pekerjaan yang paling menopang penghidupan mereka adalah menenun kain.
Karena itu, ketika memasuki Baan Tong Luang, kita akan melewati jalan setapak hampir sepanjang 200 meter, melalui pondok-pondok bambu yang dipenuhi aneka suvenir berupa kain tenun, tas tenun, boneka etnik, baju adat setempat, serta alat musik tiup dari bambu. Di sepanjang jalan itulah wisatawan akan menyaksikan para wanita berpakaian warna-warni khas setempat, tengah sibuk menenun kain.
Ketika rombongan wisatawan berkunjung, mereka akan dengan ramah menyapa, sambil menawarkan barang suvenir untuk dibeli. ”Buy... buy (beli),” hanya itu yang selalu terucap untuk mengajak orang membeli. Jika kami menanyakan harga, mereka pun hanya menunjukkan jari tangan. Misalnya, satu telunjuk untuk harga 100 bath. Hanya sedikit warga setempat yang mampu berbahasa Inggris lebih lancar seperti Mani.
Lokasi Baan Tong Luang terhubung dengan Kamp Maesa, sebuah lokasi konservasi, pelatihan, dan atraksi gajah Thailand untuk kepentingan pariwisata. Dari Kamp Maesa, turis dapat menunggang gajah menuju permukiman suku Karen dengan waktu tempuh satu jam. Seusai menjelajahi permukiman suku Karen, turis dapat menumpang angkutan gratis hingga ke tepi jalan besar. Dari situ, turis dapat berkendaraan umum untuk kembali ke pusat kota Chiang Mai.
”Human zoo”?
Bagi turis pada umumnya, berada di Desa Baan Tong Luang merupakan satu kegairahan tersendiri. Bertemu dengan para penduduk suku terasing, menyaksikan kehidupan mereka sehari-hari, bahkan dapat mengambil gambar mereka adalah satu kesempatan yang langka.
Menurut Alex, pemandu kami yang merupakan keturunan Siam, lokalisasi masyarakat suku terasing ini merupakan ide pemerintah untuk mendongkrak kunjungan wisatawan. Tanpa begitu, kita tidak akan mudah menemui komunitas ini karena sesungguhnya mereka hidup di wilayah pegunungan perbatasan Thailand-Myanmar.
Komunitas ini semula merupakan masalah nasional. Mereka adalah pengungsi asal Myanmar yang melarikan diri ketika berkecamuk perang sekitar 60 tahun lalu. Suku-suku itu mendaki gunung melewati perbatasan dan tinggal di Provinsi Maehongson, bagian utara Thailand. Suku terbuang ini hidup tanpa identitas di Thailand. Laporan UNESCO tahun 2008 menyebutkan, hampir dua juta warga suku pegunungan tinggal di Thailand tanpa kartu identitas.
Pembangunan Baan Tong Luang pada tahun 2005 merupakan salah satu upaya pemerintah memanfaatkan potensi masyarakat suku pedalaman. Proyek ekowisata ini berhasil mendatangkan turis dan berdampak pada meningkatnya perekonomian warga. Seorang penenun dapat menjual suvenir buatannya dengan nilai penjualan rata-rata 9.000 baht atau sekitar Rp 2,7 juta per bulan.
Namun, upaya ini menuai protes dari UNESCO yang menyebut keberadaan desa tersebut lebih pantas disebut ”human zoo”. Komunitas suku-suku pedalaman dilokalisasi untuk kepentingan industri pariwisata. UNESCO bahkan secara resmi menyurati pemerintah setempat untuk tidak mempromosikan ataupun mengomersialkan masyarakat suku pegunungan ini ke dalam paket-paket wisata.
Terkait hal itu, Deputi Gubernur Otoritas Pariwisata Thailand Sansern Ngaorungsi menyatakan, negara memukimkan komunitas suku terasing ini sebagai upaya menyejahterakan kehidupan mereka. ”Orang datang lalu membeli kerajinan yang mereka buat. Mereka akhirnya dapat hidup dari wisata,” tuturnya.
Terlepas dari merebaknya praduga tentang latar belakang penempatan komunitas berleher panjang di Baan Tong Luang, Mani mengatakan, dirinya bersyukur atas kehidupan yang dimiliki sekarang. Terutama karena mereka telah berada jauh dari konflik di perbatasan, walaupun kesehariannya kini penuh dengan rutinitas menenun, menyambut turis, dan menjadi obyek gambar di foto, hal yang terkadang menjemukannya....
Oleh Irma Tambunan / Kompas
0 comments:
Post a Comment
Biasakan untuk menuliskan komentar setelah Anda membaca artikel.