ERUPSI Gunung Merapi akhir-akhir ini membuat Surono, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sibuk. Surono yang kini akrab disapa Mbak Rono menceritakan berbagai hal tentang dirinya. Berikut petikan wawancaranya.
Sejak Merapi meletus, Anda kini termasuk orang paling sibuk?
Sebetulnya tidak sibuk juga. Yang saya lakukan di Yogyakarta sudah bagus. Saya datang di Yogyakarta sejak Gunung Merapi berstatus awas atau pada 21 Oktober lalu. Kenapa saya turun langsung menangani ini, karena Merapi itu memang beda. Merapi itu satu-satunya gunung yang jika sampai statusnya siaga, maka penanggung jawabnya itu diserahkan kepada pejabat eselon tiga. Itulah Merapi.
Sudah berapa kejadian letusan gunung api yang Anda tangani?
Dihitung sejak saya mulai dari staf, sudah banyak letusan gunung berapi telah saya tangani. Saya belajar banyak saat dari staf, memulai dari yang kecil. Nah, fenomena besar letusan gunung berapi yang saya tangani itu adalah saat letusan Gunung Galunggung di Jawa Barat pada 1982, letusan Gunung Colo Sulawesi Tengah tahun 1983, Gunung Kelud Jawa Timur tahun 2007, Gunung Sinabung Sumatera Utara tahun 2010, Gunung Merapi tahun 2006 dan 2010.
Dari yang Anda tangani itu, letusan Merapi tahun 2010 yang paling besar?
Letusan Gunung Galunggung sebenarnya besar, dampaknya juga luar biasa. Tapi diukur dari segi risiko, letusan Merapi memang yang sangat besar. Kenapa risikonya besar, karena penduduk di sekitar Merapi itu banyak sehingga tingkat risikonya juga besar. Jarak permukiman penduduk di lereng Gunung Merapi mulai dari Sleman, Klaten, Boyolali hingga Magelang itu sangat banyak penduduknya. Jadi memang bisa dibilang risiko letusan Merapi itu lebih tinggi dibandingkan risiko gunung yang lain.
Saking banyaknya menangani letusan gunung berapi, sampai Anda disebut Mbah Rono ya?
Ha ha ha ... sebutan Mbah Rono itu sudah lama. Mbah Rono itu bukan sebutan saat saya menangani letusan Gunung Merapi pada 2006 lalu. Mbah Rono disebutkan kepada saya saat saya menangani letusan Gunung Kelud tahun 2007. Waktu itu, saat Gunung Kelud meletus juga ada mbah-mbah yang lain yang mengaku sebagai juru kunci gunung tersebut seperti Mbah Ronggo, Mbah Sastro. Kalau di sini (Merapi) ada mbah juga, namanya Mbah Maridjan.
Jadi siapa yang pertama kali menyebut Anda Mbah Rono?
Itu saat letusan Gunung Kelud. Karena ada Mbah Ronggo, Mbah Sastro di Gunung Kelud, maka untuk membedakan saya dengan mbah-mbah yang lain itu, Ibu Ani (Ibu Negara Ani Yudhoyono) memanggil saya Mbah Rono. Waktu itu Ibu Ani Yudhoyono menyampaikannya kepada Ibu Menteri ESDM saat itu Ibu Purnomo Yusgiantoro. Akhirnya, nama Mbah Rono untuk saya melekat sampai sekarang. Sebenarnya teman-teman saya itu, kalau via e-mail, juga memanggil saya mbah.
Anda bilang memulai karier dari bawah di bidang kegunungapian. Seperti apa?
Ya, saya merintis dari bawah. Saat letusan Gunung Galunggung tahun 1982 itu saya masih sebagai staf. Jadi tidak langsung menjadi pemimpin seperti sekarang ini.
Keilmuan Anda?
Saya dari fisika. Saya menyukainya karena sebenarnya fisika itu ilmu yang bisa menerangkan proses alam. Kalau kita lihat di dunia ini, ahli fisika bagus pasti negaranya maju. Banyak Nobel ilmu alam, pasti negara si penerima Nobel itu maju. Nah, di Indonesia ilmu alam seperti fisika, kimia, biologi tidak begitu maju, maka negara kita tidak maju-maju. Kita terimbau oleh orang tua, besok kalau kamu besar jadilah dokter atau insinyur. Tapi tidak ada yang mengimbau kalau sudah besar jadilah ahli fisika atau bom atom. Sekolah di Indonesia itu seperti tabungan komersial, bukan sebagai aset negara yang suatu saat bisa mengembangkan apa pun.
Bisa diceritakan latar belakang Anda?
Saya lahir di Sidareja, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah pada 8 Juli 1955. Mulai SMA saya sekolah di Yogyakarta, lalu kuliah di ITB tahun 1976–1981. Semester empat saya sudah menikah, nama istri saya Sri Surahmani. Saat kuliah saya sambil bekerja entah itu sebagai penjaga perpustakaan kampus, motret atau ikut proyek dosen. Saya bersyukur dapat beasiswa. Kuliah sambil kerja agar bagaimana saya bisa hidup karena saya mahasiswa punya istri yang harus saya beri makan. Kuliah sambil kerja karena saya tidak ingin menjadi molimo atau mantu mahasiswa mangane melu morotuo (menantu mahasiswa yang makannya ikut mertua), ha ha ha ....
Istri Anda juga bekerja?
Tidak karena saya memang tidak mengizinkan. Mengapa, karena anak itu adalah aset berharga, maka orang yang pantas merawat adalah orang yang saya percaya, dia adalah istri saya. Itu tidak kalah pentingnya dengan kerja. Kalau saya kerja, istri saya juga kerja, siapa yang akan merawat anak? Ini prinsip saya, tidak harus sama dengan yang lain. (Istri) mengasuh anak memberi ketenangan saya dalam bekerja, itu suatu yang luar biasa. Kalau istri saya tidak bekerja, otomatis gaji hanya dari saya. Itu tidak gampang loh memanage gaji sedikit untuk bisa bertahan selama sebulan.
Bisa diceritakan soal anak Anda?
Anak saya dua, putri semua. Nama anak yang pertama Amy Rahmawati. Karena saya kagum dengan dua presiden waktu itu, Jimmy Carter dan Soekarno. Mau saya kasih nama Carter Soekarno kan nggak mungkin karena anak saya perempuan. Amy Rahmawati itu adalah gabungan dari anak kedua presiden yang saya kagumi itu. Amy itu anaknya Jimmy Carter dan Rahmawati itu anaknya Soekarno.
Anak kedua namanya Bestri Aprilia. Kenapa Bestri, itu berasal dari dua kata, yakni Best RI atau kalau diindonesiakan menjadi Republik Indonesia yang paling hebat. Anak yang pertama sudah menikah, anak yang kedua sekolah di Jerman. Anak saya yang kedua itu juga nekat seperti saya, lulus ITB ingin ke Jerman, kuliah sambil kerja juga. Untungnya sekolah di Jerman itu murah, bahkan lebih murah dibandingkan di Indonesia. Di Jerman menempuh S-2 lalu S-3.
Sejak menangani Merapi Anda jarang bertemu istri, ada rasa kangen?
Sejak 21 Oktober praktis jarang bertemu keluarga. Saya kasihan juga dengan istri saya karena tidak ada teman. Anak saya yang pertama sudah menikah, yang satunya ada di Jerman. Namun, saya dan istri tetap menjalin komunikasi. Komunikasi bagi saya adalah bukan kuantitas, tapi kualitas. Berkomunikasi dua kali dalam seminggu lebih berkualitas daripada satu minggu sering berkomunikasi secara kuantitas. Kami bisa menciptakan kualitas komunikasi tidak hanya dengan telepon atau apa. Sekarang kan sudah maju teknologinya bisa lewat apa saja, tanpa batas ruang dan waktu kan.
Kembali ke pekerjaan, Anda keberatan disebut Mbah Rono?
Tentu saja tidak. Justru itu suatu kehormatan bagi saya, kan langka. Tapi di sisi lain berat juga. Kalau sebutan mbah itu kan diberikan kepada yang dituakan atau untuk sesuatu yang lebih. Ini menjadi beban yang berat. Mudah-mudahan menjadi pemicu saya untuk menjadi yang lebih baik dalam menangani segala sesuatu.
Beban berat, termasuk adanya korban jiwa dalam letusan Merapi kali ini?
Ya, tentu saja. Yang jelas, saya merasa gagal menangani letusan Merapi 2010 ini. Sejak letusan Merapi yang pertama pada 26 Oktober lalu, saya sudah mengalami kegagalan. Mitigasi itu dianggap berhasil jika mampu menekan jumlah korban sekecil mungkin, ternyata masih ada korban jiwa. Itu bukti kegagalan saya dalam membangun komunikasi, gagal dalam membangun komunikasi dengan orang-orang yang seharusnya menyingkir ke zona aman. Kami sudah mengingatkan dan orang-orang sebenarnya punya waktu untuk menyingkir, tapi tetap saja ada korban.
Padahal kita dan tim sudah berusaha keras. Sebelum letusan 26 Oktober, kami sudah meminta zona aman 10 km dari puncak Merapi, tapi masih ada orang yang berdiam kurang dari 10 km, akhirnya ada korban jiwa. Sebelum letusan hebat pada 4 November, kami juga sudah memperluas zona aman dari 10 kilometer menjadi 15 km, tapi ternyata masih ada orang yang berdiam kurang dari zona aman atau 15 km, akhirnya ada korban lagi.
Walaupun saya sudah berusaha keras, pagi hari menelepon para bupati dan (memberikan) warning secara tertulis agar warga untuk menyingkir, tetapi tetap ada yang bertahan kan. Orang seharusnya keluar dari area itu ke zona aman, tetapi tidak mau keluar. Artinya di situ ada kegagalan komunikasi.
Kenapa yang bersangkutan tidak mau, kan berarti ada kegagalan komunikasi. Misalnya saya meminta Anda jangan berdiri di atas rel nanti ditabrak kereta, tapi nyatanya malah Anda jogetan. Itu menandakan, saya telah gagal membangun komunikasi, tidak mampu meyakinkan orang untuk pindah ke tempat yang aman. Jelas saya telah gagal, bukan tim saya.
Tapi Anda tetap dianggap sukses sebagai pemimpin?
He he he ... siapa yang menganggap sukses? Yang jelas, mau salah atau benar kan berada di tangan pemimpin. Kalau gagal itu tidak berada di anak buah karena anak buah itu menjalankan apa yang diperintahkan. Karena saya sebagai penanggung jawab, maka kalau kegagalan milik saya, jadi kalau sukses itu milik anak buah. Seorang pemimpin harus berani mengambil risiko. Kalau tidak mau mengambil risiko ya jangan jadi pemimpin. Risiko-risiko itu harus diambil dalam mitigasi, ini sebenarnya untuk keselamatan manusia.
Dalam mengambil risiko, saya harus berpikir tidak egois. Dalam hal ini sains dan teknologi selama ini yang mendasari keputusan saya. Tapi harus dikombinasikan dengan sains dan teknologi yang berwajah humanis. Iptek tentang alam hanya mampu menjelaskan dan mengetahui pada suatu proses, tetapi tidak tahu kapan akan terjadinya peristiwa. Tapi yang jelas fenomena alam itu akhir dari suatu proses. Akhir dari suatu krisis itu tergantung dari akhir krisis saat ini sehingga orang harus menghadapi hal yang baru. Di situlah orang bisa mengambil risiko bencana.
Anda menikmati sebagai seorang pemimpin?
Kepemimpinan tidak hanya dibentuk karena pendidikan, tapi juga karena karakter. Karakter itu bisa tertempa karena lingkungan, pendidikan, agama. Itu membentuk karakter saya, bahwa saya tidak mau menyerah sebelum titik darah penghabisan. Saya tidak percaya orang itu melarat atau bodoh. Orang melarat itu kan tidak tahu pola pikirnya salah, tapi dijalankan terus.
Misalnya selama 20 tahun jadi tukang becak, pengalaman dia. Tapi selama tidak mengubah menjadi bos tukang becak ya tidak akan berubah. Pengalaman hanya bisa memperlancar pekerjaan. Hanya saja, kalau pola pikirnya salah tapi dijalankan terus, maka akan terus seperti itu. Saya juga tidak percaya pada orang yang bodoh, itu hanya malas saja. Orang bodoh itu orang selalu menganggap tahu segalanya sehingga tidak belajar.
Sumber: http://news.okezone.com/read/2010/11/07/62/390626/mbah-rono-saya-gagal-menangani-letusan-merapi
Sejak Merapi meletus, Anda kini termasuk orang paling sibuk?
Sebetulnya tidak sibuk juga. Yang saya lakukan di Yogyakarta sudah bagus. Saya datang di Yogyakarta sejak Gunung Merapi berstatus awas atau pada 21 Oktober lalu. Kenapa saya turun langsung menangani ini, karena Merapi itu memang beda. Merapi itu satu-satunya gunung yang jika sampai statusnya siaga, maka penanggung jawabnya itu diserahkan kepada pejabat eselon tiga. Itulah Merapi.
Sudah berapa kejadian letusan gunung api yang Anda tangani?
Dihitung sejak saya mulai dari staf, sudah banyak letusan gunung berapi telah saya tangani. Saya belajar banyak saat dari staf, memulai dari yang kecil. Nah, fenomena besar letusan gunung berapi yang saya tangani itu adalah saat letusan Gunung Galunggung di Jawa Barat pada 1982, letusan Gunung Colo Sulawesi Tengah tahun 1983, Gunung Kelud Jawa Timur tahun 2007, Gunung Sinabung Sumatera Utara tahun 2010, Gunung Merapi tahun 2006 dan 2010.
Dari yang Anda tangani itu, letusan Merapi tahun 2010 yang paling besar?
Letusan Gunung Galunggung sebenarnya besar, dampaknya juga luar biasa. Tapi diukur dari segi risiko, letusan Merapi memang yang sangat besar. Kenapa risikonya besar, karena penduduk di sekitar Merapi itu banyak sehingga tingkat risikonya juga besar. Jarak permukiman penduduk di lereng Gunung Merapi mulai dari Sleman, Klaten, Boyolali hingga Magelang itu sangat banyak penduduknya. Jadi memang bisa dibilang risiko letusan Merapi itu lebih tinggi dibandingkan risiko gunung yang lain.
Saking banyaknya menangani letusan gunung berapi, sampai Anda disebut Mbah Rono ya?
Ha ha ha ... sebutan Mbah Rono itu sudah lama. Mbah Rono itu bukan sebutan saat saya menangani letusan Gunung Merapi pada 2006 lalu. Mbah Rono disebutkan kepada saya saat saya menangani letusan Gunung Kelud tahun 2007. Waktu itu, saat Gunung Kelud meletus juga ada mbah-mbah yang lain yang mengaku sebagai juru kunci gunung tersebut seperti Mbah Ronggo, Mbah Sastro. Kalau di sini (Merapi) ada mbah juga, namanya Mbah Maridjan.
Jadi siapa yang pertama kali menyebut Anda Mbah Rono?
Itu saat letusan Gunung Kelud. Karena ada Mbah Ronggo, Mbah Sastro di Gunung Kelud, maka untuk membedakan saya dengan mbah-mbah yang lain itu, Ibu Ani (Ibu Negara Ani Yudhoyono) memanggil saya Mbah Rono. Waktu itu Ibu Ani Yudhoyono menyampaikannya kepada Ibu Menteri ESDM saat itu Ibu Purnomo Yusgiantoro. Akhirnya, nama Mbah Rono untuk saya melekat sampai sekarang. Sebenarnya teman-teman saya itu, kalau via e-mail, juga memanggil saya mbah.
Anda bilang memulai karier dari bawah di bidang kegunungapian. Seperti apa?
Ya, saya merintis dari bawah. Saat letusan Gunung Galunggung tahun 1982 itu saya masih sebagai staf. Jadi tidak langsung menjadi pemimpin seperti sekarang ini.
Keilmuan Anda?
Saya dari fisika. Saya menyukainya karena sebenarnya fisika itu ilmu yang bisa menerangkan proses alam. Kalau kita lihat di dunia ini, ahli fisika bagus pasti negaranya maju. Banyak Nobel ilmu alam, pasti negara si penerima Nobel itu maju. Nah, di Indonesia ilmu alam seperti fisika, kimia, biologi tidak begitu maju, maka negara kita tidak maju-maju. Kita terimbau oleh orang tua, besok kalau kamu besar jadilah dokter atau insinyur. Tapi tidak ada yang mengimbau kalau sudah besar jadilah ahli fisika atau bom atom. Sekolah di Indonesia itu seperti tabungan komersial, bukan sebagai aset negara yang suatu saat bisa mengembangkan apa pun.
Bisa diceritakan latar belakang Anda?
Saya lahir di Sidareja, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah pada 8 Juli 1955. Mulai SMA saya sekolah di Yogyakarta, lalu kuliah di ITB tahun 1976–1981. Semester empat saya sudah menikah, nama istri saya Sri Surahmani. Saat kuliah saya sambil bekerja entah itu sebagai penjaga perpustakaan kampus, motret atau ikut proyek dosen. Saya bersyukur dapat beasiswa. Kuliah sambil kerja agar bagaimana saya bisa hidup karena saya mahasiswa punya istri yang harus saya beri makan. Kuliah sambil kerja karena saya tidak ingin menjadi molimo atau mantu mahasiswa mangane melu morotuo (menantu mahasiswa yang makannya ikut mertua), ha ha ha ....
Istri Anda juga bekerja?
Tidak karena saya memang tidak mengizinkan. Mengapa, karena anak itu adalah aset berharga, maka orang yang pantas merawat adalah orang yang saya percaya, dia adalah istri saya. Itu tidak kalah pentingnya dengan kerja. Kalau saya kerja, istri saya juga kerja, siapa yang akan merawat anak? Ini prinsip saya, tidak harus sama dengan yang lain. (Istri) mengasuh anak memberi ketenangan saya dalam bekerja, itu suatu yang luar biasa. Kalau istri saya tidak bekerja, otomatis gaji hanya dari saya. Itu tidak gampang loh memanage gaji sedikit untuk bisa bertahan selama sebulan.
Bisa diceritakan soal anak Anda?
Anak saya dua, putri semua. Nama anak yang pertama Amy Rahmawati. Karena saya kagum dengan dua presiden waktu itu, Jimmy Carter dan Soekarno. Mau saya kasih nama Carter Soekarno kan nggak mungkin karena anak saya perempuan. Amy Rahmawati itu adalah gabungan dari anak kedua presiden yang saya kagumi itu. Amy itu anaknya Jimmy Carter dan Rahmawati itu anaknya Soekarno.
Anak kedua namanya Bestri Aprilia. Kenapa Bestri, itu berasal dari dua kata, yakni Best RI atau kalau diindonesiakan menjadi Republik Indonesia yang paling hebat. Anak yang pertama sudah menikah, anak yang kedua sekolah di Jerman. Anak saya yang kedua itu juga nekat seperti saya, lulus ITB ingin ke Jerman, kuliah sambil kerja juga. Untungnya sekolah di Jerman itu murah, bahkan lebih murah dibandingkan di Indonesia. Di Jerman menempuh S-2 lalu S-3.
Sejak menangani Merapi Anda jarang bertemu istri, ada rasa kangen?
Sejak 21 Oktober praktis jarang bertemu keluarga. Saya kasihan juga dengan istri saya karena tidak ada teman. Anak saya yang pertama sudah menikah, yang satunya ada di Jerman. Namun, saya dan istri tetap menjalin komunikasi. Komunikasi bagi saya adalah bukan kuantitas, tapi kualitas. Berkomunikasi dua kali dalam seminggu lebih berkualitas daripada satu minggu sering berkomunikasi secara kuantitas. Kami bisa menciptakan kualitas komunikasi tidak hanya dengan telepon atau apa. Sekarang kan sudah maju teknologinya bisa lewat apa saja, tanpa batas ruang dan waktu kan.
Kembali ke pekerjaan, Anda keberatan disebut Mbah Rono?
Tentu saja tidak. Justru itu suatu kehormatan bagi saya, kan langka. Tapi di sisi lain berat juga. Kalau sebutan mbah itu kan diberikan kepada yang dituakan atau untuk sesuatu yang lebih. Ini menjadi beban yang berat. Mudah-mudahan menjadi pemicu saya untuk menjadi yang lebih baik dalam menangani segala sesuatu.
Beban berat, termasuk adanya korban jiwa dalam letusan Merapi kali ini?
Ya, tentu saja. Yang jelas, saya merasa gagal menangani letusan Merapi 2010 ini. Sejak letusan Merapi yang pertama pada 26 Oktober lalu, saya sudah mengalami kegagalan. Mitigasi itu dianggap berhasil jika mampu menekan jumlah korban sekecil mungkin, ternyata masih ada korban jiwa. Itu bukti kegagalan saya dalam membangun komunikasi, gagal dalam membangun komunikasi dengan orang-orang yang seharusnya menyingkir ke zona aman. Kami sudah mengingatkan dan orang-orang sebenarnya punya waktu untuk menyingkir, tapi tetap saja ada korban.
Padahal kita dan tim sudah berusaha keras. Sebelum letusan 26 Oktober, kami sudah meminta zona aman 10 km dari puncak Merapi, tapi masih ada orang yang berdiam kurang dari 10 km, akhirnya ada korban jiwa. Sebelum letusan hebat pada 4 November, kami juga sudah memperluas zona aman dari 10 kilometer menjadi 15 km, tapi ternyata masih ada orang yang berdiam kurang dari zona aman atau 15 km, akhirnya ada korban lagi.
Walaupun saya sudah berusaha keras, pagi hari menelepon para bupati dan (memberikan) warning secara tertulis agar warga untuk menyingkir, tetapi tetap ada yang bertahan kan. Orang seharusnya keluar dari area itu ke zona aman, tetapi tidak mau keluar. Artinya di situ ada kegagalan komunikasi.
Kenapa yang bersangkutan tidak mau, kan berarti ada kegagalan komunikasi. Misalnya saya meminta Anda jangan berdiri di atas rel nanti ditabrak kereta, tapi nyatanya malah Anda jogetan. Itu menandakan, saya telah gagal membangun komunikasi, tidak mampu meyakinkan orang untuk pindah ke tempat yang aman. Jelas saya telah gagal, bukan tim saya.
Tapi Anda tetap dianggap sukses sebagai pemimpin?
He he he ... siapa yang menganggap sukses? Yang jelas, mau salah atau benar kan berada di tangan pemimpin. Kalau gagal itu tidak berada di anak buah karena anak buah itu menjalankan apa yang diperintahkan. Karena saya sebagai penanggung jawab, maka kalau kegagalan milik saya, jadi kalau sukses itu milik anak buah. Seorang pemimpin harus berani mengambil risiko. Kalau tidak mau mengambil risiko ya jangan jadi pemimpin. Risiko-risiko itu harus diambil dalam mitigasi, ini sebenarnya untuk keselamatan manusia.
Dalam mengambil risiko, saya harus berpikir tidak egois. Dalam hal ini sains dan teknologi selama ini yang mendasari keputusan saya. Tapi harus dikombinasikan dengan sains dan teknologi yang berwajah humanis. Iptek tentang alam hanya mampu menjelaskan dan mengetahui pada suatu proses, tetapi tidak tahu kapan akan terjadinya peristiwa. Tapi yang jelas fenomena alam itu akhir dari suatu proses. Akhir dari suatu krisis itu tergantung dari akhir krisis saat ini sehingga orang harus menghadapi hal yang baru. Di situlah orang bisa mengambil risiko bencana.
Anda menikmati sebagai seorang pemimpin?
Kepemimpinan tidak hanya dibentuk karena pendidikan, tapi juga karena karakter. Karakter itu bisa tertempa karena lingkungan, pendidikan, agama. Itu membentuk karakter saya, bahwa saya tidak mau menyerah sebelum titik darah penghabisan. Saya tidak percaya orang itu melarat atau bodoh. Orang melarat itu kan tidak tahu pola pikirnya salah, tapi dijalankan terus.
Misalnya selama 20 tahun jadi tukang becak, pengalaman dia. Tapi selama tidak mengubah menjadi bos tukang becak ya tidak akan berubah. Pengalaman hanya bisa memperlancar pekerjaan. Hanya saja, kalau pola pikirnya salah tapi dijalankan terus, maka akan terus seperti itu. Saya juga tidak percaya pada orang yang bodoh, itu hanya malas saja. Orang bodoh itu orang selalu menganggap tahu segalanya sehingga tidak belajar.
0 comments:
Post a Comment
Biasakan untuk menuliskan komentar setelah Anda membaca artikel.