Kementrian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) RI akan menetapkan bobot komponen nilai ujian nasional (UN) lebih besar dari bobot komponen nilai sekolah dalam menghitung nilai akhir siswa. Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengungkapkan, pemerintah telah sepakat menetapkan bobot nilai UN dengan nilai sekolah sebesar 60 persen berbanding 40 persen.
"60 banding 40, tinggal saya tanda tangani besok (Selasa/28/12/2010)," kata Nuh usai jumpa pers tentang perubahan mekanisme penyaluran dan BOS di kantor Kementrian Pendidikan Nasional, Jakarta, Senin (27/12/2010).
Nuh mengatakan, penetapan tersebut berdasarkan hasil hitung-menghitung secara statistik nilai rapor seluruh sekolah dari mulai yang berakreditasi A, B, hingga C. Menurutnya, sekolah berakreditasi A dan B rata-rata memberi nilai rapor siswanya dengan angka 7 atau 8. Namun, banyak juga yang memberikan nilai 5 atau 6.
Sementara itu, sekolah berakreditasi C tampak tidak berani memberi nilai 5 atau 6, juga nilai 9. Akreditasi C hanya berani memberi nilai rapor pada kisaran 7 atau 8.
Dengan demikian, kata Nuh, jangkauan atau range nilai rapor di sekolah akreditasi A dan B lebih panjang daripada nilai rapor di sekolah akreditasi C yang rata-rata hanya berani memberi nilai 7 dan 8. Untuk menyeimbangkan perbedaan jangkauan nilai rapor sekolah akreditasi A, B dengan C itulah, komponen nilai nasional UN yang merupakan hasil UN diperbesar bobotnya dari nilai sekolah yang merupakan gabungan nilai rapor dan nilai UAS itu.
"Dari situlah UN bisa dipakai sebagai kompensator untuk memperbaiki yang buyes, maka diperbesar (bobotnya)," katanya.
Sesuai kesepakatan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, akan terdapat dua komponen nilai yang menentukan nilai akhir siswa, yakni nilai UN dan nilai sekolah yang merupakan gabungan nilai rapor selama tiga tahun dengan nilai ujian akhir sekolah (UAS). Kedua komponen nilai itu akan digabungkan dan dibagi sesuai bobot masing-masing yang ditentukan pemerintah hingga menghasilkan nilai akhir. Untuk dapat lulus, menurut Nuh, nilai akhir siswa minimal harus mencapai 5,5.
"Standar kelulusan tetap 5,5," imbuhnya.
Sumber: Kompas
Nuh mengatakan, penetapan tersebut berdasarkan hasil hitung-menghitung secara statistik nilai rapor seluruh sekolah dari mulai yang berakreditasi A, B, hingga C. Menurutnya, sekolah berakreditasi A dan B rata-rata memberi nilai rapor siswanya dengan angka 7 atau 8. Namun, banyak juga yang memberikan nilai 5 atau 6.
Sementara itu, sekolah berakreditasi C tampak tidak berani memberi nilai 5 atau 6, juga nilai 9. Akreditasi C hanya berani memberi nilai rapor pada kisaran 7 atau 8.
Dengan demikian, kata Nuh, jangkauan atau range nilai rapor di sekolah akreditasi A dan B lebih panjang daripada nilai rapor di sekolah akreditasi C yang rata-rata hanya berani memberi nilai 7 dan 8. Untuk menyeimbangkan perbedaan jangkauan nilai rapor sekolah akreditasi A, B dengan C itulah, komponen nilai nasional UN yang merupakan hasil UN diperbesar bobotnya dari nilai sekolah yang merupakan gabungan nilai rapor dan nilai UAS itu.
"Dari situlah UN bisa dipakai sebagai kompensator untuk memperbaiki yang buyes, maka diperbesar (bobotnya)," katanya.
Sesuai kesepakatan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, akan terdapat dua komponen nilai yang menentukan nilai akhir siswa, yakni nilai UN dan nilai sekolah yang merupakan gabungan nilai rapor selama tiga tahun dengan nilai ujian akhir sekolah (UAS). Kedua komponen nilai itu akan digabungkan dan dibagi sesuai bobot masing-masing yang ditentukan pemerintah hingga menghasilkan nilai akhir. Untuk dapat lulus, menurut Nuh, nilai akhir siswa minimal harus mencapai 5,5.
"Standar kelulusan tetap 5,5," imbuhnya.
Sumber: Kompas
0 comments:
Post a Comment
Biasakan untuk menuliskan komentar setelah Anda membaca artikel.